Oh, Jadi itu namanya tidak Menghargai?.
Apa Susahnya si turun dari motor?
Tulisan ini berawal dari percakapan bersama teteh
saya tadi malam yang membicarakan tentang tamu (?) yang istrinya masuk rumah
dan duduk sedangkan suaminya hanya menunggu di motor diluar rumah, sudah di
ajak ngobrol tapi responya berbeda. Sampai
pulang suami nya itu tetep enggan ke rumah. Sekedar masuk untuk bersalaman atau
bertegur sapa. Tidak sama sekali. Akhirnya tamu suami istri dan anknya itu
pergi. Teteh saya nyeletuk, “nah iya puguh males nya gitu, gak turun sama
sekali dari motor”.
Dari percakapan kejadian itu. Pikiran saya tiba-tiba
membuka lembaran memori dari masa lalu.
Waktu smp, teman saya pernah main kerumah. Nah ketika
pulang dia dijemput sama tetehnya di depan jalan (yang tau rumah saya mungkin
tahu, kalo rumah saya agak jauh dari jalan utama. Nah disitulah teteh temen
saya menjemput dia).
Ayah saya nyeletuk.
“rul, emang rumah temen kamu itu sebagus apasih?”
“e, ya bagus”... bla.. blaa... jawab saya
“oh, pantesan gak mau mampir kerumah , rumah kita
kan jelek”
Deg...
“ngga ko, mungkin takut nyasar ke sini, makanya
nunggu di jalan depan”.
Saya berpositif thingking saja.
Tapi . . . sekali, dua kali, tiga kali main.. tetep
teman saya itu dijemput di jalan depan.
Lain cerita.
Tamu juga. (?) suami istri, mengantar istrinya
kerumah, tapi si suami berhenti jauh dari rumah saya, sedangkan istrinya jalan
kaki dari jalan itu kerumah. Ayah saya bertanya pada tamu itu.
“lah, jalan kaki, mana suaminya?”
“itu ada didepan, nunggu”
“wih,,,” (saya lupa ayah saya ngomogn apa lagi)”.
Intinya sama dengan cerita yang pertama. Maklum rumah
kita jelek, makanya gak mau sekedar mampir kerumah.
Pada waktu itu, saya selalu berfikir positif,
mungkin . . . mungkin . . mungkin . . .
tapii.. dari percakapan semalam bersama teteh saya itu akhirnya saya sadar.
Bukan soal itu yang ayah saya mau ajarkan kepada
saya. Bukan soal pesismsistis dengan rumah yang jelek. Tapi soal “MENGHARGAI”.
Ya sesimpel itu.
Kasus yg pertama dan lainya, sudah di ajak mampir,
di ajak bicara, tanggapannya singkat dan tidak menghampiri, tetep duduk di atas
motor menunggu. yang lainya juga sama, mengantarkan tidak sampai rumah, hanya
menunggu di depan jalan.
Seulit apa si, untuk turun dari motor, bertamu salaman
dengan tuan rumah, duduk bersama. (jika memang malu tidak mau ngobrol tinggal
jawab singkat jika ditanya, atau diam saja). Sesimple itu.
Okeh, Yah saya baru paham sekarang. Menghargai orang
itu memang mudah sekaligus sangat sulit.
dan, sikap yang demikian bener juga menyakiti hati
orang yang punya rumah. Seperti ayah saya yang berfikiran “wah rumah saya jelek
nih, pantes gak mau mampir, sombong sekali”. (tapi saya yakin bukan itu yang
ingin ayah saya ajarkan kepada saya).
Ayah saya ingin saya menghargai orang lain, tanpa
memandang status sosial, melihat rumah, fisik, dan lainya. Menghargai sesama
itu mutlak harganya, dan tidak bisa di ganggu gugat. Bukan kah jika ingin
dihargai, maka hargai orang terlebih dahulu?. Kasus tadi, apa susahnya si turun
dari motor?
Begitulah, tulisan iseng ini. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment